I never thought I could be crying for Iblis. While I may not agree about his choice of song (come on, really? Lenka? Dude!), but this writing by Fahd Djibran really nailed it.
“Hai, lama tak berjumpa!” katanya tiba-tiba, suara khasnya menciutkan keberanianku. Ini kebiasaan yang buruk, kataku dalam hati, menyapa dengan sebuah ‘ledakan’! Lalu ia tersenyum aneh, memperlihatkan seluruh gigi-giginya, “Eit, kenapa kamu jadi ketakutan begitu melihatku, Fahd? Haha, seperti pertama kali saja!” katanya.
Aku beringsut, langkahku surut. “Yang benar saja, muncul dengan tubuh segemuk ini siapa yang nggak kaget!?” kataku. Aku memang agak kesal.
“Hmmm… Apakah aku seseram itu? Sepertinya kamu hanya termakan imajinasimu sendiri tentang aku. Bangsamu memang sialan, seenaknya membuat gambaran menyeramkan tentang bangsaku. Ini keterlaluan! Kalian membuat bangsa kami jadi heran mengapa setan-setan yang kalian buat di kepala kalian sendiri jauh lebih setan dan menyeramkan daripada kenyataannya?”
Ia nampak agak marah, lalu melanjutkan, “Sudahlah, lupakan penampilanku. Tak semua yang kau lihat dengan matamu menunjukkan kenyataannya. Lepasakan pikiran-pikiran buruk dan kecurigaan-kecurigaan, setidaknya untuk sekarang ini… Kau tidak tahu caranya menyambut teman lama? Aku ingin bersenang-senang!”
Lalu ia tertawa dengan suara khasnya. Aku lebih senang menyebutnya ‘meledak’. Mendengar suaranya, kadang-kadang aku berpikir, kenapa aku harus berteman dengan makhluk ini? Meskipun kadang-kadang ia baik, ia tetap menyeramkan!
“Mau menyanyi bersama?” katanya, ia mulai menyadari bahwa aku sedang tidak fokus dan tak cukup senang menyambut kedatangannya. “Ayolah, sambutlah aku sebagai teman… Ikutlah merayakan kebebasanku!”
“Kebebasan?” kataku.
“Ya, setelah sebulan dipenjara!” ia tertawa lepas.
Lalu tiba-tiba sebuah piano besar muncul di hadapannya, dan ia mulai memainkan sebuah lagu.
“Tak usah ragu begitu,” katanya, “ikuti saja iramanya, lalu biarkan seluruh dirimu mengaliri hentakannya—terutama hatimu… Dengarkanlah musiknya, Kawan. Enak bukan?”
Aku mulai mengikuti musiknya. Enak juga, seperti biasa. Meski menyeramkan, ia memang musisi yang handal.
Aku tersenyum. Ia tersenyum.
“Hey, lihat! Kau mulai menari, ayo teruslah begitu, nikmati lagunya!” ia tampak senang melihatku mulai menikmati permaianan pianonya, “Kali ini The Show dari Lenka!” sambungnya.
Dan ia mulai menyanyi.
I'm just a little bit caught in the middle“Lagu ini benar-benar mengingatkanku pada kisahku sendiri. Saat aku merasa tiba-tiba harus berada dalam situasi yang tak kuinginkan. Tiba-tiba Tuhan ingin menciptakan manusia dan menjadikannya pemimpin di muka bumi, lalu aku harus bersujud di hadapannya? Yang benar saja! Ini penghinaan terhadap profesi setan! Jelas aku tidak bisa menerimanya, ini masalah besar… Jelas selama ini akulah anak emas Tuhan, mengapa Ia menginginkan yang lain? Apa yang kurang dari aku?
Life is a maze and love is a riddle
I don't know where to go I can't do it alone I've tried
And I don't know why
“Tapi, apalah kuasaku di hadapan medan pertunjukan Tuhan? Aku hanyalah bidak kecil di hadapan kebesaran Sang Maha Dalang! I’m just a little bit caught in the middle! Bahkan “ada”-nya diriku juga tak pernah kukehendaki, Dialah yang menginginkan semuanya. Aku hanyalah bagian dari sistem agung kemahatiba-tibaan-Nya; tiba-tiba aku tercipta, tiba-tiba aku memiliki peran, tiba-tiba aku memiliki hidup, tiba-tiba aku harus menjadi musuh semua sub-sistem kemahatiba-tibaan-Nya, dan segala ketiba-tibaan lainnya.
“Ya, tiba-tiba aku terperangkap di tengah-tengah sebuah sistem agung yang aku sendiri tak mengerti… Sedangkan hidup serupa labirin dan cinta bagaikan teka-teki. Kau tahu, aku menolak bersujud pada manusia sebab aku tak ingin menduakan cintaku pada Tuhan! Hanya Tuhan yang berhak menerima sujudku dan siapapun tak! Adalah kemusyrikan yang terminal sekaligus permanen bagiku jika harus menduakan cinta-Nya… Tetapi cinta memang teka-teki… Ia tetap ngotot memerintahkanku bersujud kepada manusia dan aku tetap tidak mau… aku tak mau meruntuhkan pendirianku sendiri tentang cinta—apalagi kepada-Nya. Di situlah semua sistem mulai menuduhku berkhianat dan membangkang perintah Tuhan, padahal aku tak bermaksud demikian.
“Kau tahu, itu sakit, Itu tidak menyenangkan! Aku jelas marah besar. Aku murka dan meledak; menghina Tuhan dan hidup yang ia ciptakan. Aku menghina semuanya. Aku menganggap bahwa aku bisa lebih baik dari-Nya, dan Dia hanyalah Dalang yang tak becus menangani pertunjukkan. Kau tahu, itulah salahku; aku menghadapi kekerdilanku dengan cara menumbuhkan kesombongan dalam diriku… dan asal kau tahu, kesombongan bagaikan kapal minyak yang besar; sekali ia tersulut api, ia tak akan menunggu lama untuk meledak dan menghancurkan dirinya sendiri.
“Maka, mari kuberitahukan padamu, terimalah semesta kemahatiba-tibaan-Nya sebagai bagaian dari hidupmu. Jika kau memiliki hidup yang membahagiakan, bersyukurlah dengan waspada, sebab di depanmu ketiba-tibaan lain bisa saja menunggu. Jika hidupmu tak cukup baik menurut pendapatmu sendiri, cobalah menerimanya dan teruslah berjalan dengan ketabahan. Tuhan selalu punya rencana lain, kemahatiba-tibaan lain, yang bisa jadi jauh lebih baik daripada kebahagiaan-kebahagiaan yang mampu kaubayangkan sekalipun. Terimalah pertunjukannya… kau memiliki peranmu sendiri, maka mainkanlah sebaik mungkin, biarkanlah Ia yang menilaimu sendiri.
“Bila kau tak kuat menjalaninya, bisikanlah ke dalam hatimu bahwa Ia tak akan memberimu peran yang kau sendiri tak sanggup menjalaninya. Laa yukallifullahu nafsan illa wusy’aha, begitu kata-Nya kira-kira. Jangan seperti aku, melawan-Nya dan tak menerima peran yang Ia berikan untukku. Maka, beginilah aku jadinya… Aku sudah mencoba melawan-Nya, Kawan. Dan beginilah akibatnya. Sendirian, terkucil, dimusuhi secara permanen. Kau tahu bagaimana rasanya? Aku tak mampu menjalaninya. Jika aku mencari teman, aku hanya mencari teman yang berpikiran pendek sepertiku…”
Slow it down, make it stop—“Jika kau menghadapi masalah-masalah dan tekanan-tekanan berat yang kau pikir tak mampu kau hadapi dan kau jalani, berjalanlah melambat. Atau sesekali berhentilah. Ketergesa-gesaan hanya datang dariku dan ketenangan datang dari bisikan nuranimu. Jangan ikuti aku yang tergesa-gesa mengambil kesimpulan menganggap Tuhan begitu jahat menduakan cinta-Nya padaku. Jangan seperti aku yang tergesa-gesa meledak kepada-Nya dan berikrar melenyapkan-Nya dari hidupku. Jangan seperti aku, sebab aku juga tak bisa menjalaninya!
Or else my heart is going to pop
'Cause it's too much
Yeah, it's a lot
To be something I'm not
I'm a fool out of love
'Cause I just can't get enough
“Berpikirlah tenang, rasakanlah dengan hatimu, lihatlah semuanya dengan jelas… Jika tidak, lihatlah sendiri jika kau tak melakukannya… hatimu akan meledak—seperti aku! Dan kau akan kehilangan semuanya, tak memiliki apapun. Tuhan terlalu besar untuk kau tiadakan, bahkan bukankah Ia sendiri memenuhi seluruh ruang ketiadaan? Sementara itu, hidup terlalu kompleks untuk kau remehkan.
“Tak ada satupun yang bisa memenuhi harapan kita kecuali kita sendiri… Maka, saat kau merasa sedih atau bermasalah, jangan menuduh siapapun—jangan menuduhku. Kembalikanlah pada dirimu sendiri, kau adalah tuan bagi dirimu sendiri. Itulah cara Tuhan menghidupkan pertunjukannya, ia memberimu pilihan-pilihan, kemungkinan-kemungkinan, ketiba-tibaan, dan kau di tengah-tengahnya… fahadaynakum najdayn…
I'm just a little bit caught in the middle“Saat menyadari kesalahanku dan melihat diriku yang penuh masalah dan dimusuhi banyak orang… kadang aku merasa takut, seperti gadis kecil yang tersesat di tengah hujan. Tetapi penyesalah memang selalu datang belakangan dan kita tak bisa mengulangi keputusan yang telah kita buat. Maka, segeralah bangun dan tersadar, berhentilah membuat keputusan-keputusan buruk dan keliru-keliru, berhentilah membuat keputusan-keputusan emosional-irasional, dan mulailah bekerja membaikkan kualitas diri. Itulah taubat. Lakukanlah selagi mungkin, sebelum semuanya terlambat. Sebab penyesalan selalu datang belakangan; hanya itu caranya menghentikan konsekuensi-konsekuensi buruk dari pilihan-pilihan buruk yang kau ambil. Sebelum semuanya terlambat seperti aku.
Life is a maze and love is a riddle
I don't know where to go I can't do it alone I've tried
And I don't know why
I am just a little girl lost in the moment
I'm so scared but I don't show it
I can't figure it out
It's bringing me down I know
I've got to let it go
And just enjoy the show
The sun is hot
In the sky
Just like a giant spotlight
The people follow the signs
And synchronize in time
It's a joke
Nobody knows
They've got a ticket to that show… Yeah
“Hidupmu tak ditentukan oleh keramaian, begitu kata Søren Kierkegard, salah satu sahabatku. Jangan membuat pilihan berdasarkan pilihan banyak orang, buatlah pilihan berdasarkan kata hatimu, berdasarkan akal-pikiranmu. Apa yang baik menurutmu, baik bagi hidupmu. Apa yang buruk menurut hati dan pikiranmu, buruk juga bagi hidupmu. Dan lihatlah bagaimana waktu akan membuktikan semuanya… Haha… ini termasuk nasihat untuk jangan mengikuti pendapat dan godaanku tentang sesuatu, timbanglah menurut hati dan pikiranmu sendiri…
I'm just a little bit caught in the middle“Jika kau sudah melakukan apa yang terbaik bagi hidupmu, jika kau sudah berusaha membaikkan dirimu di hadapan Tuhan, just enjoy the show! Hanya itu yang bisa kau lakukan. Wamaa tasyaa-u illa an-yasyaa-allah… Kenyataannya, di hapadan kehendak Tuhan, kehendak kita tak ada apa-apanya. Maka, nikmati saja pertunjukannya. Barangkali itulah yang disebut sebagai tawakkal. Merebahkan diri di tengah-tengah maha-sistem ketiba-tibaan dan kehendak Tuhan…
Life is a maze and love is a riddle
I dont know where to go, can't do it alone I've tried
And I don't know why
I am just a little girl lost in the moment
I'm so scared but I don't show it
I can't figure it out
It's bringing me down I know
I've got to let it go
And just enjoy the show oh oh oh
Just enjoy the show oh oh oh
“Akhirnya, kita tak diberi kuasa untuk mengetahui apa yang bakal terjadi. Maka, jalani dan nikmati saja pertunjukannya. Jangan seperti aku, yang menyesal seumur hidup dan tak bisa melakukan apa-apa lagi. Kalau boleh dan mungkin, asal kau tahu, sesungguhnya aku ingin mengulangi semua “pertunjukan” ini dari awal. Tetapi tak mungkin. Paling tidak, aku ingin uangku kembali dan memilih duduk manis di depan maha-layar pertunjukkan Tuhan, tetapi tak mungkin… Maka, di tengah ketidakmungkinan itulah aku memilih peranku sendiri sebagai “yang jahat”, “yang hitam”, “yang dimusuhi”, “yang dibenci”, untuk menyempurnakan peranmu sebagai “yang baik”, “yang suci”, “yang disayangi Tuhan”… Dalam kondisi itu, bila dengan pengorbananku saja kau tak bisa belajar dari buruknya masa laluku, betapa bodohnya kamu. Bila kau tak bisa menjadi “sisi baik” dari kepasrahanku menjadi “sisi buruk”, betapa sia-sianya hidupmu… dan betapa sia-sianya pengorbananku…
dum de dum“Terkutuklah kau jika tak menghargai pengorbananku! Cintailah kecintaanku, sebab aku hanya bisa mencintai-Nya dari jauh. Bila sempat, dalam doamu, bisikanlah kepada-Nya bahwa betapa aku masih mencintai-Nya!”
dudum de dum
Just enjoy the show
dum de dum
dudum de dum
Just enjoy the show
I want my money back
I want my money back
I want my money back
Just enjoy the show
Tuan Setan mengakhiri curhatnya, permainan pianonya mulai melambat, dan suaranya mulai berat. Aku segera tahu bahwa matanya mulai berkaca-kaca. “Bukankah sia-sia hidupmu jika kau tak mencintai Tuhanmu?” katanya, “Betapa ingin aku melakukannya, kau tidak?”
Aku tersentak. Ada debar hebat yang muncul dari dalam dadaku, seperti biasa setiap kali melakukan perbincangan dengannya. Aku terdiam cukup lama saat Tuan Setan terlihat akan pergi. Ia berjalan menjauh dengan langkah terhuyung, meninggalkan aku yang terpaku dalam kebodohan diriku sendiri.
Ia menoleh ke arahku, tersenyum, “Just enjoy the show!” katanya, lalu menghilang.
Aku tak ingin bangun dari tidurku, tetapi tak bisa. Kenyatan begitu kuat menarik diriku kedalam tempat tidurku. Lalu waktu menjadi rapuh dan berantakan, membukakan mataku, menghadirkan kegelisahan baru di hatiku. “Mengapa aku harus berteman dengannya?” kataku dalam hati. “Siapakah Tuan Setan sebenarnya?”
Lamat-lamat, lagu Lenka, The Show, mengalun dari ruang kerja istriku… I'm just a little bit caught in the middle / Life is a maze and love is a riddle / I dont know where to go I can't do it alone I've tried / And I don't know why/ I am just a little girl lost in the moment / I'm so scared but I don't show it / I can't figure it out / It's bringing me down I know / I've got to let it go/ And just enjoy the show, oh oh oh…
…just enjoy the show!


Suatu hari, lama setelah menonton film indie Cin(T)a, membaca novel Eat Pray Love, melakukan yoga, bicara dengan Tuhan dan shalat, membaca buku Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai dan Sejarah dalam 10 1/2 Bab, dan bertanya-tanya kenapa Tuhan ngotot menyuruh Ibrahim untuk menyembelih Ismail... tiba-tiba terlintas begini: Kayaknya Tuhan, nggak meminta untuk disembah dengan satu cara.


In any other day, Harvest Cafe should be closing soon. Yet it was Friday night, so the store wouldn't be closed for another two hours.


Ketika Charles Darwin mengunjungi Pulau Galapagos di tahun 1835, ia menyadari bahwa burung mockingbird di tiap-tiap pulau merupakan spesies yang berbeda. Hal ini semakin memperkuat keraguannya mengenai kemustahilan makhluk hidup untuk bermutasi. Setahun kemudian dia mencetuskannya dalam Darwin’s Finches, sebuah studi mengenai evolusi pada paruh burung.
Kisah ini mungkin menjadi inspirasi bagi Harper Lee, peraih penghargaan Pulitzer 1961, dalam menulis novel To Kill A Mockingbird. Namun Lee tidak bicara soal sains, melainkan sebuah realita hidup di mana seringkali citra dan praduga membuat orang buta akan kebenaran yang jelas-jelas digelar di depan mata.
To Kill A Mockingbird mengambil latar sebuah kota bernama Maycomb yang berada di negara bagian Alabama, Amerika Serikat. Saat itu, di tahun 1930-an, perlakuan berbeda terhadap orang kulit hitam masih sangat mencolok. Tanpa terkecuali, dalam masyarakat Maycomb yang sebagian besar merupakan golongan konservatif kulit putih.
Cerita ini dituturkan dari sudut pandang gadis berusia 6-8 tahun bernama Scout. Seperti anak seusianya, Scout suka menghabiskan harinya dengan bermain, berusaha mengikuti apa saja yang dilakukan kakak lak-lakinya. Termasuk mengintai rumah Boo Radley, seorang pria yang tidak pernah terlihat keluar rumah sejak bertahun-tahun. Namun hidup Scout berubah ketika ayahnya, Atticus Finch, pengacara terkenal di kota tersebut, secara mengejutkan maju menjadi pembela bagi Tom Robinson, seorang pekerja serabutan kulit hitam.
Robinson dituduh melakukan penyerangan seksual terhadap anak perempuan Bob Ewell. Walaupun mengalami tekanan dari komunitasnya, Finch bertahan membela Robinson. Ia mengumpulkan bukti-bukti yang secara mengejutkan mengarah pada kemungkinan Ewell-lah yang menyerang putrinya sendiri. Meskipun tahu kemungkinannya kecil, Finch berusaha membuat juri melihat kebenaran di balik warna kulit Robinson.
“Ada sebuah tempat di negara ini di mana semua manusia dilahirkan setara. Ada sebuah institusi buatan manusia di mana seorang paling miskin setara dengan Rockefeller, seorang idiot setara dengan Einstein, dan seorang apatis setara dengan semua rektor universitas. Tempat itu, Saudara sekalian, adalah pengadilan,” kata Finch pada pernyataan terakhirnya sebelum juri berunding untuk membuat keputusan. Namun demikian, cap buruk yang dialamatkan pada masyarakat kulit hitam sebegitukuatnya sehingga para juri akhirnya memberikan vonis bersalah pada Robinson.
Dengan pengamatan yang teliti dan gaya yang polos, Scout memperlihatkan paradoks dalam kehidupan masyarakat Amerika saat itu. Kaum kulit putih menganggap kaum minoritas sebagai ‘komunitas tidak berpendidikan dan berbahaya’ karena mereka tinggal di sudut kota yang kumuh, sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pembantu, dan tidak bisa baca-tulis. Di sisi lain, ada juga kaum kulit putih dengan ciri-ciri seperti itu, bahkan berkelakuan jauh lebih buruk dibandingkan orang kulit hitam, namun tetap mendapat perlakuan lebih baik. Maka alasan seperti tingkah laku dan kemampuan baca-tulis sebenarnya hanya pembelaan akan tumbuhnya prasangka yang disebabkan oleh perbedaan warna kulit. Prasangka itu seperti suatu keyakinan yang ditanamkan secara turun-temurun sehingga rasanya tidak ada alasan untuk menolak mempercayainya.
Dalam skala berbeda, prasangka juga yang menyebabkan Radley dilarang keluar rumah oleh ayahnya. Sejak bebas dari penjara remaja, Radley hidup dalam kurungan ayahnya yang khawatir Radley akan melakukan tindak kriminal lagi apabila dibiarkan bergaul dalam masyarakat. Pada akhirnya, Radley ternyata pria baik yang sering memberikan hadiah-hadiah kejutan bagi Scout saat gadis itu kebetulan lewat di depan rumahnya. Bahkan dia juga yang menyelamatkan Scout saat gadis itu dan kakaknya diserang oleh Bob Ewell, yang merasa dipermalukan di depan umum oleh Finch.
Para ‘korban’ dalam novel ini dianalogikan Lee sebagai mockingbird. Dalam masyarakat Maycomb, menembak burung penyanyi tersebut adalah kebiasaan dan hobi. Tidak ada seorang pun yang menentang hal itu, kecuali Finch, yang dengan jelas melarang anak-anaknya membunuh mockingbird.
“Mockingbirds tidak melakukan apapun kecuali menyanyikan musik untuk kita nikmati. Mereka tidak memakan tanaman orang, tidak bersarang pada tempat penyimpanan jagung, mereka tidak melakukan apapun kecuali menyanyikan lagu sepenuh hati untuk kita. Itulah sebabnya kita tidak boleh membunuh mockingbird,” begitu kata pengasuh Scout ketika gadis itu meminta penjelasan. Scout kemudian berjanji tidak akan membunuh mockingbird, seperti halnya dia menolak menjadi rasis.
To Kill A Mockingbird adalah novel Lee satu-satunya dan diterbitkan saat ia masih berusia 34 tahun. Melalui buku ini, Lee dianugrahi Presidential Medal of Freedom pada tahun 2007 silam. To Kill A Mockingbird merupakan salah satu karya paling berpengaruh di seluruh dunia dan kini menjadi salah satu bacaan wajib bagi sekolah menengah AS.
Lima puluh tahun setelah pertama kali buku ini diterbitkan, patut disyukuri masyarakat telah mengalami kemajuan besar dalam hal perbedaan rasial. Namun, seperti kata Darwin, mockingbird memiliki spesies berbeda di masing-masing pulau. Ada banyak Robinson dan Radley dengan permasalahan sendiri-sendiri. Untuk itu, kita harus melihat lebih jauh melewati prasangka, untuk bisa melihat lebih dekat orang di depan kita. Jangan sampai membunuh mockingbird, Finch bilang itu dosa.




People think soulmate is your perfect fit, and that's what everyone wants. But a true soul mate is a mirror, the person who shows you everything that's holding you back, the person who brings you to your own attention so you can change your life. A true soul mate is probably the most important people you'll ever meet, because they tear down your walls and smack you awake. But to live with one? Nah. Too painful. Soul mates, they come into your life just to reveal another layer of yourself to you, and then they leave. And thank God for it.


Waktu lagi sedih, rasanya sulit buat nemuin hal-hal yang bisa bikin kita tersenyum. Tapi coba ya, waktu pikiran dan hati lagi tenang, ada luar biasa banyak hal yang bisa disyukuri dari hari ini. :)
Luigi Barzini, in his 1964 masterwork The Italians (written when he'd finally grown tired of foreigners writing about Italy and either loving it or hating it too much), tried to set the record straight on his own culture. He tried to answer the question of why the Italians have produced the greatest artistic, political and scientific minds of the ages, but have still never become a major world power. Why are they the planet's masters of verbal diplomacy, but still so inept at home government? Why they so individually valiant, yet so collectively unsuccessful as an army? How can they be such shrewd merchants on the personal level, yet such inefficient capitalist as a nation?His answers to these questions are more complex than I can fairly encapsulate here, but have much to do with a sad Italian history of corruption by local leaders and exploitation by foreign dominators, all of which has generally led Italians to draw the seemingly accurate conclusion that nobody and nothing in this world can be trusted. Because the world is so corrupted, misspoken, unstable, exaggerated and unfair, one should trust only what one can experience with one's own senses, and this makes the senses stronger in Italy than anywhere in Europe. This is why, Barzini says, Italians will tolerate hideously incompetent generals, presidents, tyrants, professors, bureaucrats, journalists and captains of industry, but will never tolerate incompetent "opera singers, conductors, ballerinas, courtesans, actors, film directors, cooks, tailors..." In a world of disorder and disaster and fraud, sometimes only beauty can be trusted. Only artistic excellence is incorruptible. Pleasure cannot be bargained down. And sometimes the meal is the only currency that is real.


Leave a Comment