cerita dari Ruang Tengah

I never thought I could be crying for Iblis. While I may not agree about his choice of song (come on, really? Lenka? Dude!), but this writing by Fahd Djibran really nailed it.



Curhat Setan 2: Just Enjoy The Show!


Satu malam setelah Lebaran, tiba-tiba Tuan Setan datang lagi. Lama sekali kami tak bertemu. Tiba-tiba dia muncul dan membuatku kaget setengah mampus, dia jadi sangat gemuk dan terlihat menyeramkan. Matanya bergerak-gerak, seperti biasa. Senyumnya lebar, dan seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, dia mulai menundukkan badannya, memberikan semacam salam penghormatan.

“Hai, lama tak berjumpa!” katanya tiba-tiba, suara khasnya menciutkan keberanianku. Ini kebiasaan yang buruk, kataku dalam hati, menyapa dengan sebuah ‘ledakan’! Lalu ia tersenyum aneh, memperlihatkan seluruh gigi-giginya, “Eit, kenapa kamu jadi ketakutan begitu melihatku, Fahd? Haha, seperti pertama kali saja!” katanya.

Aku beringsut, langkahku surut. “Yang benar saja, muncul dengan tubuh segemuk ini siapa yang nggak kaget!?” kataku. Aku memang agak kesal.

“Hmmm… Apakah aku seseram itu? Sepertinya kamu hanya termakan imajinasimu sendiri tentang aku. Bangsamu memang sialan, seenaknya membuat gambaran menyeramkan tentang bangsaku. Ini keterlaluan! Kalian membuat bangsa kami jadi heran mengapa setan-setan yang kalian buat di kepala kalian sendiri jauh lebih setan dan menyeramkan daripada kenyataannya?”

Ia nampak agak marah, lalu melanjutkan, “Sudahlah, lupakan penampilanku. Tak semua yang kau lihat dengan matamu menunjukkan kenyataannya. Lepasakan pikiran-pikiran buruk dan kecurigaan-kecurigaan, setidaknya untuk sekarang ini… Kau tidak tahu caranya menyambut teman lama? Aku ingin bersenang-senang!”

Lalu ia tertawa dengan suara khasnya. Aku lebih senang menyebutnya ‘meledak’. Mendengar suaranya, kadang-kadang aku berpikir, kenapa aku harus berteman dengan makhluk ini? Meskipun kadang-kadang ia baik, ia tetap menyeramkan!

“Mau menyanyi bersama?” katanya, ia mulai menyadari bahwa aku sedang tidak fokus dan tak cukup senang menyambut kedatangannya. “Ayolah, sambutlah aku sebagai teman… Ikutlah merayakan kebebasanku!”

“Kebebasan?” kataku.

“Ya, setelah sebulan dipenjara!” ia tertawa lepas.

Lalu tiba-tiba sebuah piano besar muncul di hadapannya, dan ia mulai memainkan sebuah lagu.

“Tak usah ragu begitu,” katanya, “ikuti saja iramanya, lalu biarkan seluruh dirimu mengaliri hentakannya—terutama hatimu… Dengarkanlah musiknya, Kawan. Enak bukan?”

Aku mulai mengikuti musiknya. Enak juga, seperti biasa. Meski menyeramkan, ia memang musisi yang handal.

Aku tersenyum. Ia tersenyum.

“Hey, lihat! Kau mulai menari, ayo teruslah begitu, nikmati lagunya!” ia tampak senang melihatku mulai menikmati permaianan pianonya, “Kali ini The Show dari Lenka!” sambungnya.

Dan ia mulai menyanyi.

I'm just a little bit caught in the middle
Life is a maze and love is a riddle
I don't know where to go I can't do it alone I've tried
And I don't know why

“Lagu ini benar-benar mengingatkanku pada kisahku sendiri. Saat aku merasa tiba-tiba harus berada dalam situasi yang tak kuinginkan. Tiba-tiba Tuhan ingin menciptakan manusia dan menjadikannya pemimpin di muka bumi, lalu aku harus bersujud di hadapannya? Yang benar saja! Ini penghinaan terhadap profesi setan! Jelas aku tidak bisa menerimanya, ini masalah besar… Jelas selama ini akulah anak emas Tuhan, mengapa Ia menginginkan yang lain? Apa yang kurang dari aku?

“Tapi, apalah kuasaku di hadapan medan pertunjukan Tuhan? Aku hanyalah bidak kecil di hadapan kebesaran Sang Maha Dalang! I’m just a little bit caught in the middle! Bahkan “ada”-nya diriku juga tak pernah kukehendaki, Dialah yang menginginkan semuanya. Aku hanyalah bagian dari sistem agung kemahatiba-tibaan-Nya; tiba-tiba aku tercipta, tiba-tiba aku memiliki peran, tiba-tiba aku memiliki hidup, tiba-tiba aku harus menjadi musuh semua sub-sistem kemahatiba-tibaan-Nya, dan segala ketiba-tibaan lainnya.

“Ya, tiba-tiba aku terperangkap di tengah-tengah sebuah sistem agung yang aku sendiri tak mengerti… Sedangkan hidup serupa labirin dan cinta bagaikan teka-teki. Kau tahu, aku menolak bersujud pada manusia sebab aku tak ingin menduakan cintaku pada Tuhan! Hanya Tuhan yang berhak menerima sujudku dan siapapun tak! Adalah kemusyrikan yang terminal sekaligus permanen bagiku jika harus menduakan cinta-Nya… Tetapi cinta memang teka-teki… Ia tetap ngotot memerintahkanku bersujud kepada manusia dan aku tetap tidak mau… aku tak mau meruntuhkan pendirianku sendiri tentang cinta—apalagi kepada-Nya. Di situlah semua sistem mulai menuduhku berkhianat dan membangkang perintah Tuhan, padahal aku tak bermaksud demikian.

“Kau tahu, itu sakit, Itu tidak menyenangkan! Aku jelas marah besar. Aku murka dan meledak; menghina Tuhan dan hidup yang ia ciptakan. Aku menghina semuanya. Aku menganggap bahwa aku bisa lebih baik dari-Nya, dan Dia hanyalah Dalang yang tak becus menangani pertunjukkan. Kau tahu, itulah salahku; aku menghadapi kekerdilanku dengan cara menumbuhkan kesombongan dalam diriku… dan asal kau tahu, kesombongan bagaikan kapal minyak yang besar; sekali ia tersulut api, ia tak akan menunggu lama untuk meledak dan menghancurkan dirinya sendiri.

“Maka, mari kuberitahukan padamu, terimalah semesta kemahatiba-tibaan-Nya sebagai bagaian dari hidupmu. Jika kau memiliki hidup yang membahagiakan, bersyukurlah dengan waspada, sebab di depanmu ketiba-tibaan lain bisa saja menunggu. Jika hidupmu tak cukup baik menurut pendapatmu sendiri, cobalah menerimanya dan teruslah berjalan dengan ketabahan. Tuhan selalu punya rencana lain, kemahatiba-tibaan lain, yang bisa jadi jauh lebih baik daripada kebahagiaan-kebahagiaan yang mampu kaubayangkan sekalipun. Terimalah pertunjukannya… kau memiliki peranmu sendiri, maka mainkanlah sebaik mungkin, biarkanlah Ia yang menilaimu sendiri.

“Bila kau tak kuat menjalaninya, bisikanlah ke dalam hatimu bahwa Ia tak akan memberimu peran yang kau sendiri tak sanggup menjalaninya. Laa yukallifullahu nafsan illa wusy’aha, begitu kata-Nya kira-kira. Jangan seperti aku, melawan-Nya dan tak menerima peran yang Ia berikan untukku. Maka, beginilah aku jadinya… Aku sudah mencoba melawan-Nya, Kawan. Dan beginilah akibatnya. Sendirian, terkucil, dimusuhi secara permanen. Kau tahu bagaimana rasanya? Aku tak mampu menjalaninya. Jika aku mencari teman, aku hanya mencari teman yang berpikiran pendek sepertiku…”

Slow it down, make it stop—
Or else my heart is going to pop
'Cause it's too much
Yeah, it's a lot
To be something I'm not

I'm a fool out of love
'Cause I just can't get enough

“Jika kau menghadapi masalah-masalah dan tekanan-tekanan berat yang kau pikir tak mampu kau hadapi dan kau jalani, berjalanlah melambat. Atau sesekali berhentilah. Ketergesa-gesaan hanya datang dariku dan ketenangan datang dari bisikan nuranimu. Jangan ikuti aku yang tergesa-gesa mengambil kesimpulan menganggap Tuhan begitu jahat menduakan cinta-Nya padaku. Jangan seperti aku yang tergesa-gesa meledak kepada-Nya dan berikrar melenyapkan-Nya dari hidupku. Jangan seperti aku, sebab aku juga tak bisa menjalaninya!

“Berpikirlah tenang, rasakanlah dengan hatimu, lihatlah semuanya dengan jelas… Jika tidak, lihatlah sendiri jika kau tak melakukannya… hatimu akan meledak—seperti aku! Dan kau akan kehilangan semuanya, tak memiliki apapun. Tuhan terlalu besar untuk kau tiadakan, bahkan bukankah Ia sendiri memenuhi seluruh ruang ketiadaan? Sementara itu, hidup terlalu kompleks untuk kau remehkan.

“Tak ada satupun yang bisa memenuhi harapan kita kecuali kita sendiri… Maka, saat kau merasa sedih atau bermasalah, jangan menuduh siapapun—jangan menuduhku. Kembalikanlah pada dirimu sendiri, kau adalah tuan bagi dirimu sendiri. Itulah cara Tuhan menghidupkan pertunjukannya, ia memberimu pilihan-pilihan, kemungkinan-kemungkinan, ketiba-tibaan, dan kau di tengah-tengahnya… fahadaynakum najdayn…

I'm just a little bit caught in the middle
Life is a maze and love is a riddle
I don't know where to go I can't do it alone I've tried
And I don't know why

I am just a little girl lost in the moment
I'm so scared but I don't show it
I can't figure it out
It's bringing me down I know
I've got to let it go
And just enjoy the show

The sun is hot
In the sky
Just like a giant spotlight
The people follow the signs
And synchronize in time
It's a joke
Nobody knows
They've got a ticket to that show… Yeah

“Saat menyadari kesalahanku dan melihat diriku yang penuh masalah dan dimusuhi banyak orang… kadang aku merasa takut, seperti gadis kecil yang tersesat di tengah hujan. Tetapi penyesalah memang selalu datang belakangan dan kita tak bisa mengulangi keputusan yang telah kita buat. Maka, segeralah bangun dan tersadar, berhentilah membuat keputusan-keputusan buruk dan keliru-keliru, berhentilah membuat keputusan-keputusan emosional-irasional, dan mulailah bekerja membaikkan kualitas diri. Itulah taubat. Lakukanlah selagi mungkin, sebelum semuanya terlambat. Sebab penyesalan selalu datang belakangan; hanya itu caranya menghentikan konsekuensi-konsekuensi buruk dari pilihan-pilihan buruk yang kau ambil. Sebelum semuanya terlambat seperti aku.

“Hidupmu tak ditentukan oleh keramaian, begitu kata Søren Kierkegard, salah satu sahabatku. Jangan membuat pilihan berdasarkan pilihan banyak orang, buatlah pilihan berdasarkan kata hatimu, berdasarkan akal-pikiranmu. Apa yang baik menurutmu, baik bagi hidupmu. Apa yang buruk menurut hati dan pikiranmu, buruk juga bagi hidupmu. Dan lihatlah bagaimana waktu akan membuktikan semuanya… Haha… ini termasuk nasihat untuk jangan mengikuti pendapat dan godaanku tentang sesuatu, timbanglah menurut hati dan pikiranmu sendiri…

I'm just a little bit caught in the middle
Life is a maze and love is a riddle
I dont know where to go, can't do it alone I've tried
And I don't know why

I am just a little girl lost in the moment
I'm so scared but I don't show it
I can't figure it out
It's bringing me down I know
I've got to let it go
And just enjoy the show oh oh oh

Just enjoy the show oh oh oh

“Jika kau sudah melakukan apa yang terbaik bagi hidupmu, jika kau sudah berusaha membaikkan dirimu di hadapan Tuhan, just enjoy the show! Hanya itu yang bisa kau lakukan. Wamaa tasyaa-u illa an-yasyaa-allah… Kenyataannya, di hapadan kehendak Tuhan, kehendak kita tak ada apa-apanya. Maka, nikmati saja pertunjukannya. Barangkali itulah yang disebut sebagai tawakkal. Merebahkan diri di tengah-tengah maha-sistem ketiba-tibaan dan kehendak Tuhan…

“Akhirnya, kita tak diberi kuasa untuk mengetahui apa yang bakal terjadi. Maka, jalani dan nikmati saja pertunjukannya. Jangan seperti aku, yang menyesal seumur hidup dan tak bisa melakukan apa-apa lagi. Kalau boleh dan mungkin, asal kau tahu, sesungguhnya aku ingin mengulangi semua “pertunjukan” ini dari awal. Tetapi tak mungkin. Paling tidak, aku ingin uangku kembali dan memilih duduk manis di depan maha-layar pertunjukkan Tuhan, tetapi tak mungkin… Maka, di tengah ketidakmungkinan itulah aku memilih peranku sendiri sebagai “yang jahat”, “yang hitam”, “yang dimusuhi”, “yang dibenci”, untuk menyempurnakan peranmu sebagai “yang baik”, “yang suci”, “yang disayangi Tuhan”… Dalam kondisi itu, bila dengan pengorbananku saja kau tak bisa belajar dari buruknya masa laluku, betapa bodohnya kamu. Bila kau tak bisa menjadi “sisi baik” dari kepasrahanku menjadi “sisi buruk”, betapa sia-sianya hidupmu… dan betapa sia-sianya pengorbananku…

dum de dum
dudum de dum

Just enjoy the show

dum de dum
dudum de dum

Just enjoy the show

I want my money back
I want my money back
I want my money back

Just enjoy the show

“Terkutuklah kau jika tak menghargai pengorbananku! Cintailah kecintaanku, sebab aku hanya bisa mencintai-Nya dari jauh. Bila sempat, dalam doamu, bisikanlah kepada-Nya bahwa betapa aku masih mencintai-Nya!”

Tuan Setan mengakhiri curhatnya, permainan pianonya mulai melambat, dan suaranya mulai berat. Aku segera tahu bahwa matanya mulai berkaca-kaca. “Bukankah sia-sia hidupmu jika kau tak mencintai Tuhanmu?” katanya, “Betapa ingin aku melakukannya, kau tidak?”

Aku tersentak. Ada debar hebat yang muncul dari dalam dadaku, seperti biasa setiap kali melakukan perbincangan dengannya. Aku terdiam cukup lama saat Tuan Setan terlihat akan pergi. Ia berjalan menjauh dengan langkah terhuyung, meninggalkan aku yang terpaku dalam kebodohan diriku sendiri.

Ia menoleh ke arahku, tersenyum, “Just enjoy the show!” katanya, lalu menghilang.

Aku tak ingin bangun dari tidurku, tetapi tak bisa. Kenyatan begitu kuat menarik diriku kedalam tempat tidurku. Lalu waktu menjadi rapuh dan berantakan, membukakan mataku, menghadirkan kegelisahan baru di hatiku. “Mengapa aku harus berteman dengannya?” kataku dalam hati. “Siapakah Tuan Setan sebenarnya?”

Lamat-lamat, lagu Lenka, The Show, mengalun dari ruang kerja istriku… I'm just a little bit caught in the middle / Life is a maze and love is a riddle / I dont know where to go I can't do it alone I've tried / And I don't know why/ I am just a little girl lost in the moment / I'm so scared but I don't show it / I can't figure it out / It's bringing me down I know / I've got to let it go/ And just enjoy the show, oh oh oh…

…just enjoy the show!



Suatu hari, lama setelah menonton film indie Cin(T)a, membaca novel Eat Pray Love, melakukan yoga, bicara dengan Tuhan dan shalat, membaca buku Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai dan Sejarah dalam 10 1/2 Bab, dan bertanya-tanya kenapa Tuhan ngotot menyuruh Ibrahim untuk menyembelih Ismail... tiba-tiba terlintas begini: Kayaknya Tuhan, nggak meminta untuk disembah dengan satu cara.


Saya ingat salah satu line dari film Cin(T)a: "Kenapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, kalau Dia ingin disembah dengan satu cara?" Mungkin nggak sih, kalau Tuhan sebetulnya nggak meminta itu?

Mungkin manusia punya caranya masing-masing dalam menyembah Tuhan. Ada yang nyaman dengan shalat, ada yang nyaman dengan maditasi... Dan mungkin cara-cara itu cuma tool untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Rasanya hubungan dengan Tuhan adalah hubungan yang sangat pribadi. Cuma dia dan Tuhannya yang mengerti persis hubungan itu. Dan siapa sih orang lain untuk menilai apakah caranya menyembah Tuhan benar atau salah. Kayaknya yang punya hak untuk menilai itu, ya cuma Tuhan.

Dor.

Yasudah lah, lakukan aja menurut keyakinan masing-masing.

Between Opera and Pie

In any other day, Harvest Cafe should be closing soon. Yet it was Friday night, so the store wouldn't be closed for another two hours.


We sat outside, on the balcony where we could see cars and motorcycles passing along Jalan Djuanda. Michael Buble was playing on the stereo and a waiter with his brown apron took our orders.

I ordered opera cake and she took mushroom pie. Two good friends, talking and ranting and mocking. About jobs, schools, boys, girls, friends, brother... Subjects we could not be tired of. Wait, we should not be tired of.

Laughed at our selves. Laughed at other's naivety. Laughed at prides and broken expectations.

I love challenge and she demands attention. I cross every line just to know how it feels. And she longs for passion, primal as it seems.

We broke others' hearts and got our hearts broken. We cried yesterday and laughed it off on the next day. When we are young and invincible, it feels like we could live forever. So why not enjoy it, before youth runs out like the last bite of opera cake.

Temuan


Ah, nemu ini di folder yang nggak pernah diotak-atik lagi...


Lebih Jauh, Lebih Dekat

Ketika Charles Darwin mengunjungi Pulau Galapagos di tahun 1835, ia menyadari bahwa burung mockingbird di tiap-tiap pulau merupakan spesies yang berbeda. Hal ini semakin memperkuat keraguannya mengenai kemustahilan makhluk hidup untuk bermutasi. Setahun kemudian dia mencetuskannya dalam Darwin’s Finches, sebuah studi mengenai evolusi pada paruh burung.

Kisah ini mungkin menjadi inspirasi bagi Harper Lee, peraih penghargaan Pulitzer 1961, dalam menulis novel To Kill A Mockingbird. Namun Lee tidak bicara soal sains, melainkan sebuah realita hidup di mana seringkali citra dan praduga membuat orang buta akan kebenaran yang jelas-jelas digelar di depan mata.

To Kill A Mockingbird mengambil latar sebuah kota bernama Maycomb yang berada di negara bagian Alabama, Amerika Serikat. Saat itu, di tahun 1930-an, perlakuan berbeda terhadap orang kulit hitam masih sangat mencolok. Tanpa terkecuali, dalam masyarakat Maycomb yang sebagian besar merupakan golongan konservatif kulit putih.

Cerita ini dituturkan dari sudut pandang gadis berusia 6-8 tahun bernama Scout. Seperti anak seusianya, Scout suka menghabiskan harinya dengan bermain, berusaha mengikuti apa saja yang dilakukan kakak lak-lakinya. Termasuk mengintai rumah Boo Radley, seorang pria yang tidak pernah terlihat keluar rumah sejak bertahun-tahun. Namun hidup Scout berubah ketika ayahnya, Atticus Finch, pengacara terkenal di kota tersebut, secara mengejutkan maju menjadi pembela bagi Tom Robinson, seorang pekerja serabutan kulit hitam.

Robinson dituduh melakukan penyerangan seksual terhadap anak perempuan Bob Ewell. Walaupun mengalami tekanan dari komunitasnya, Finch bertahan membela Robinson. Ia mengumpulkan bukti-bukti yang secara mengejutkan mengarah pada kemungkinan Ewell-lah yang menyerang putrinya sendiri. Meskipun tahu kemungkinannya kecil, Finch berusaha membuat juri melihat kebenaran di balik warna kulit Robinson.

“Ada sebuah tempat di negara ini di mana semua manusia dilahirkan setara. Ada sebuah institusi buatan manusia di mana seorang paling miskin setara dengan Rockefeller, seorang idiot setara dengan Einstein, dan seorang apatis setara dengan semua rektor universitas. Tempat itu, Saudara sekalian, adalah pengadilan,” kata Finch pada pernyataan terakhirnya sebelum juri berunding untuk membuat keputusan. Namun demikian, cap buruk yang dialamatkan pada masyarakat kulit hitam sebegitukuatnya sehingga para juri akhirnya memberikan vonis bersalah pada Robinson.

Dengan pengamatan yang teliti dan gaya yang polos, Scout memperlihatkan paradoks dalam kehidupan masyarakat Amerika saat itu. Kaum kulit putih menganggap kaum minoritas sebagai ‘komunitas tidak berpendidikan dan berbahaya’ karena mereka tinggal di sudut kota yang kumuh, sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pembantu, dan tidak bisa baca-tulis. Di sisi lain, ada juga kaum kulit putih dengan ciri-ciri seperti itu, bahkan berkelakuan jauh lebih buruk dibandingkan orang kulit hitam, namun tetap mendapat perlakuan lebih baik. Maka alasan seperti tingkah laku dan kemampuan baca-tulis sebenarnya hanya pembelaan akan tumbuhnya prasangka yang disebabkan oleh perbedaan warna kulit. Prasangka itu seperti suatu keyakinan yang ditanamkan secara turun-temurun sehingga rasanya tidak ada alasan untuk menolak mempercayainya.

Dalam skala berbeda, prasangka juga yang menyebabkan Radley dilarang keluar rumah oleh ayahnya. Sejak bebas dari penjara remaja, Radley hidup dalam kurungan ayahnya yang khawatir Radley akan melakukan tindak kriminal lagi apabila dibiarkan bergaul dalam masyarakat. Pada akhirnya, Radley ternyata pria baik yang sering memberikan hadiah-hadiah kejutan bagi Scout saat gadis itu kebetulan lewat di depan rumahnya. Bahkan dia juga yang menyelamatkan Scout saat gadis itu dan kakaknya diserang oleh Bob Ewell, yang merasa dipermalukan di depan umum oleh Finch.

Para ‘korban’ dalam novel ini dianalogikan Lee sebagai mockingbird. Dalam masyarakat Maycomb, menembak burung penyanyi tersebut adalah kebiasaan dan hobi. Tidak ada seorang pun yang menentang hal itu, kecuali Finch, yang dengan jelas melarang anak-anaknya membunuh mockingbird.

“Mockingbirds tidak melakukan apapun kecuali menyanyikan musik untuk kita nikmati. Mereka tidak memakan tanaman orang, tidak bersarang pada tempat penyimpanan jagung, mereka tidak melakukan apapun kecuali menyanyikan lagu sepenuh hati untuk kita. Itulah sebabnya kita tidak boleh membunuh mockingbird,” begitu kata pengasuh Scout ketika gadis itu meminta penjelasan. Scout kemudian berjanji tidak akan membunuh mockingbird, seperti halnya dia menolak menjadi rasis.

To Kill A Mockingbird adalah novel Lee satu-satunya dan diterbitkan saat ia masih berusia 34 tahun. Melalui buku ini, Lee dianugrahi Presidential Medal of Freedom pada tahun 2007 silam. To Kill A Mockingbird merupakan salah satu karya paling berpengaruh di seluruh dunia dan kini menjadi salah satu bacaan wajib bagi sekolah menengah AS.

Lima puluh tahun setelah pertama kali buku ini diterbitkan, patut disyukuri masyarakat telah mengalami kemajuan besar dalam hal perbedaan rasial. Namun, seperti kata Darwin, mockingbird memiliki spesies berbeda di masing-masing pulau. Ada banyak Robinson dan Radley dengan permasalahan sendiri-sendiri. Untuk itu, kita harus melihat lebih jauh melewati prasangka, untuk bisa melihat lebih dekat orang di depan kita. Jangan sampai membunuh mockingbird, Finch bilang itu dosa.

demineralized water for coffee


People, please... Just because H2O is the chemical structure of water, doesn't mean H2O is the actual water we drink everyday. Perhaps they want to look smart by putting word H2O instead of hot water, but it only proved their sotoyness.

What? They wanted to say that I have to buy demineralized water to make this coffee?

,

morning soup for soul

I once truly believed that one should not make other as the center of one's life. That one should not make other as one's reason to do everything. That one should not make other as one's final achievement.

Because things change. People change.

What if you're trying to succeed just to impress this girl, then you soon find her cheating on you? Doesn't all the achievement mean nothing now that you don't have any reason to keep going? What if you depend completely on your partner and then one day he's gone? Doesn't the world feel like it's ending? That you are entirely completely hopelessly alone now that you're losing your once solid ground?

Then this conversation occured.

When I told this guy about those, he said: What about soul mate then? If I love someone so dearly and she cheated on me, there must be something wrong about my judgement. If I love someone so dearly and she's gone, then I will be broken. But that's not going to stop me from giving her all I can, because she'll be my everything.

What he said to me had shaken up my whole point of view about my relationship with other people, though. I was never an all-out girl. There's something in the back of my mind that stops me from giving it all. I think the word is pride. I can hear J.Lo singing 'all my pride is all I have...' already. But probably it's just fear.

Strange thing about love is the more you give the happier you are. Love is something you feel inside, the ones you love can only feel love that is radiating from you. So if you want love, start loving. Love this morning, love your family, love your friends. Love them completely. Their love for you is their feelings. But the feeling when you're fallling in love, when you're hugging a friend, when you're watching TV with your family is truly yours. Love never hurts as no one really dies of a broken heart.

He must be shaking his head if he read this, thinking: hey, that's not my idea of love at all! Well, I kind of processing people's thoughts and ideas and sometimes come up with agreement or denial or whole different meaning.

I still believe that one should not make other as the center of one's life. That one should not make other as one's reason to do everything. That one should not make other as one's final achievement.

Because I think there's more to live.

What about soul mate, you say? Err... I don't know. Yes, some say you're not quite your whole self before you find your other half. But there are many, men and women, who'd rather spend their life without a spouse or even partner. And they're calm and happy. You still think they can not fly without the other wing? Because I know lots of people who fly on their own. Like mother Theresa. Or Isa (Jesus). Or my Aunt.

Indah said: It's not fair that you can only be yourself within the precence of someone else. Soul mate is what comes from inside you. Your personal achievement. Like Darwin and his theories. Like Newton and his apple.

(You see? I'm surrounded by great people and great books. And now as I'm writing down in my laptop, eating Happy Toss and sipping cappuccino, I can see great morning outside my window. Right here, right now, life is a bliss.)

Anyway, the problem about the word soulmate is that everyone seems to have their own definitions, and everyone claims that theirs are the right ones.

Lately I've been carrying novel Eat Pray Love like a devoted nun treats the bible. And here's its (or rather, Richard from Texas') definition of soulmate:

People think soulmate is your perfect fit, and that's what everyone wants. But a true soul mate is a mirror, the person who shows you everything that's holding you back, the person who brings you to your own attention so you can change your life. A true soul mate is probably the most important people you'll ever meet, because they tear down your walls and smack you awake. But to live with one? Nah. Too painful. Soul mates, they come into your life just to reveal another layer of yourself to you, and then they leave. And thank God for it.

My mom said that when he married my dad, she wasn't sure that she loves him (despite their 5 years in relationship). She just went with the flow and when it's time they should be married, they just did. And one thing that crossed my mind when she told me this was: 'Emak gue nggak romantis.'

But hey, would it be matter? They're still going strong until now. They still do all the lovey dovey things. They still respect each other. They still complain and grumble about each other, of course, but very rarely be mad. My dad adores my mom, and she is devoted to him. And I bet if I ask her is he her soul mate she would go with: I don't know, what is soul mate anyway?

Perhaps soul mate is just something people make up to assure themselves that they will not have to spend a lifetime being alone.

Perhaps, like a faint voice that is always bugging me for quite some time now, soulmate is the presence of God within you?

senyum senyum sendiri

Waktu lagi sedih, rasanya sulit buat nemuin hal-hal yang bisa bikin kita tersenyum. Tapi coba ya, waktu pikiran dan hati lagi tenang, ada luar biasa banyak hal yang bisa disyukuri dari hari ini. :)


Saya bersyukur untuk buku Eat Pray Love, dua gelas cappuccino malam ini, semua artis yang telah menyanyikan lagu-lagu di playlist saya, Canada's Next Top Model, internet, Ibu yang paling saya sayang di dunia, Ayah dan kedua adik saya, treadmill, rumah, mobil, laptop, hujan, kesehatan, kehidupan, pengelihatan, malam, siang, pendengaran, onion ring, terigu... *makin lama makin absurd*

Saat-saat yang paling saya suka adalah saat saya merasa bahagia tanpa alasan (hope it ain't sign of insanity). Contentment. Saat saya tiba-tiba bisa merasa grateful atas simple things dan membuat saya senyum-senyum terus tanpa alasan (again, I hope it ain't sign of insanity).

Anyway, sejauh ini, ada dua paragraf dalam Eat Pray Love yang paling menarik jari saya untuk mengutip. Nggak jelas juga kenapa. Padahal membaca buku ini nggak membuat saya kepingin melakukan crazie escapade ke Itali.

Luigi Barzini, in his 1964 masterwork The Italians (written when he'd finally grown tired of foreigners writing about Italy and either loving it or hating it too much), tried to set the record straight on his own culture. He tried to answer the question of why the Italians have produced the greatest artistic, political and scientific minds of the ages, but have still never become a major world power. Why are they the planet's masters of verbal diplomacy, but still so inept at home government? Why they so individually valiant, yet so collectively unsuccessful as an army? How can they be such shrewd merchants on the personal level, yet such inefficient capitalist as a nation?

His answers to these questions are more complex than I can fairly encapsulate here, but have much to do with a sad Italian history of corruption by local leaders and exploitation by foreign dominators, all of which has generally led Italians to draw the seemingly accurate conclusion that nobody and nothing in this world can be trusted. Because the world is so corrupted, misspoken, unstable, exaggerated and unfair, one should trust only what one can experience with one's own senses, and this makes the senses stronger in Italy than anywhere in Europe. This is why, Barzini says, Italians will tolerate hideously incompetent generals, presidents, tyrants, professors, bureaucrats, journalists and captains of industry, but will never tolerate incompetent "opera singers, conductors, ballerinas, courtesans, actors, film directors, cooks, tailors..." In a world of disorder and disaster and fraud, sometimes only beauty can be trusted. Only artistic excellence is incorruptible. Pleasure cannot be bargained down. And sometimes the meal is the only currency that is real.

about me

Foto saya
Contact me: devy.nandya@gmail.com