cerita dari Ruang Tengah

I never thought I could be crying for Iblis. While I may not agree about his choice of song (come on, really? Lenka? Dude!), but this writing by Fahd Djibran really nailed it.



Curhat Setan 2: Just Enjoy The Show!


Satu malam setelah Lebaran, tiba-tiba Tuan Setan datang lagi. Lama sekali kami tak bertemu. Tiba-tiba dia muncul dan membuatku kaget setengah mampus, dia jadi sangat gemuk dan terlihat menyeramkan. Matanya bergerak-gerak, seperti biasa. Senyumnya lebar, dan seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, dia mulai menundukkan badannya, memberikan semacam salam penghormatan.

“Hai, lama tak berjumpa!” katanya tiba-tiba, suara khasnya menciutkan keberanianku. Ini kebiasaan yang buruk, kataku dalam hati, menyapa dengan sebuah ‘ledakan’! Lalu ia tersenyum aneh, memperlihatkan seluruh gigi-giginya, “Eit, kenapa kamu jadi ketakutan begitu melihatku, Fahd? Haha, seperti pertama kali saja!” katanya.

Aku beringsut, langkahku surut. “Yang benar saja, muncul dengan tubuh segemuk ini siapa yang nggak kaget!?” kataku. Aku memang agak kesal.

“Hmmm… Apakah aku seseram itu? Sepertinya kamu hanya termakan imajinasimu sendiri tentang aku. Bangsamu memang sialan, seenaknya membuat gambaran menyeramkan tentang bangsaku. Ini keterlaluan! Kalian membuat bangsa kami jadi heran mengapa setan-setan yang kalian buat di kepala kalian sendiri jauh lebih setan dan menyeramkan daripada kenyataannya?”

Ia nampak agak marah, lalu melanjutkan, “Sudahlah, lupakan penampilanku. Tak semua yang kau lihat dengan matamu menunjukkan kenyataannya. Lepasakan pikiran-pikiran buruk dan kecurigaan-kecurigaan, setidaknya untuk sekarang ini… Kau tidak tahu caranya menyambut teman lama? Aku ingin bersenang-senang!”

Lalu ia tertawa dengan suara khasnya. Aku lebih senang menyebutnya ‘meledak’. Mendengar suaranya, kadang-kadang aku berpikir, kenapa aku harus berteman dengan makhluk ini? Meskipun kadang-kadang ia baik, ia tetap menyeramkan!

“Mau menyanyi bersama?” katanya, ia mulai menyadari bahwa aku sedang tidak fokus dan tak cukup senang menyambut kedatangannya. “Ayolah, sambutlah aku sebagai teman… Ikutlah merayakan kebebasanku!”

“Kebebasan?” kataku.

“Ya, setelah sebulan dipenjara!” ia tertawa lepas.

Lalu tiba-tiba sebuah piano besar muncul di hadapannya, dan ia mulai memainkan sebuah lagu.

“Tak usah ragu begitu,” katanya, “ikuti saja iramanya, lalu biarkan seluruh dirimu mengaliri hentakannya—terutama hatimu… Dengarkanlah musiknya, Kawan. Enak bukan?”

Aku mulai mengikuti musiknya. Enak juga, seperti biasa. Meski menyeramkan, ia memang musisi yang handal.

Aku tersenyum. Ia tersenyum.

“Hey, lihat! Kau mulai menari, ayo teruslah begitu, nikmati lagunya!” ia tampak senang melihatku mulai menikmati permaianan pianonya, “Kali ini The Show dari Lenka!” sambungnya.

Dan ia mulai menyanyi.

I'm just a little bit caught in the middle
Life is a maze and love is a riddle
I don't know where to go I can't do it alone I've tried
And I don't know why

“Lagu ini benar-benar mengingatkanku pada kisahku sendiri. Saat aku merasa tiba-tiba harus berada dalam situasi yang tak kuinginkan. Tiba-tiba Tuhan ingin menciptakan manusia dan menjadikannya pemimpin di muka bumi, lalu aku harus bersujud di hadapannya? Yang benar saja! Ini penghinaan terhadap profesi setan! Jelas aku tidak bisa menerimanya, ini masalah besar… Jelas selama ini akulah anak emas Tuhan, mengapa Ia menginginkan yang lain? Apa yang kurang dari aku?

“Tapi, apalah kuasaku di hadapan medan pertunjukan Tuhan? Aku hanyalah bidak kecil di hadapan kebesaran Sang Maha Dalang! I’m just a little bit caught in the middle! Bahkan “ada”-nya diriku juga tak pernah kukehendaki, Dialah yang menginginkan semuanya. Aku hanyalah bagian dari sistem agung kemahatiba-tibaan-Nya; tiba-tiba aku tercipta, tiba-tiba aku memiliki peran, tiba-tiba aku memiliki hidup, tiba-tiba aku harus menjadi musuh semua sub-sistem kemahatiba-tibaan-Nya, dan segala ketiba-tibaan lainnya.

“Ya, tiba-tiba aku terperangkap di tengah-tengah sebuah sistem agung yang aku sendiri tak mengerti… Sedangkan hidup serupa labirin dan cinta bagaikan teka-teki. Kau tahu, aku menolak bersujud pada manusia sebab aku tak ingin menduakan cintaku pada Tuhan! Hanya Tuhan yang berhak menerima sujudku dan siapapun tak! Adalah kemusyrikan yang terminal sekaligus permanen bagiku jika harus menduakan cinta-Nya… Tetapi cinta memang teka-teki… Ia tetap ngotot memerintahkanku bersujud kepada manusia dan aku tetap tidak mau… aku tak mau meruntuhkan pendirianku sendiri tentang cinta—apalagi kepada-Nya. Di situlah semua sistem mulai menuduhku berkhianat dan membangkang perintah Tuhan, padahal aku tak bermaksud demikian.

“Kau tahu, itu sakit, Itu tidak menyenangkan! Aku jelas marah besar. Aku murka dan meledak; menghina Tuhan dan hidup yang ia ciptakan. Aku menghina semuanya. Aku menganggap bahwa aku bisa lebih baik dari-Nya, dan Dia hanyalah Dalang yang tak becus menangani pertunjukkan. Kau tahu, itulah salahku; aku menghadapi kekerdilanku dengan cara menumbuhkan kesombongan dalam diriku… dan asal kau tahu, kesombongan bagaikan kapal minyak yang besar; sekali ia tersulut api, ia tak akan menunggu lama untuk meledak dan menghancurkan dirinya sendiri.

“Maka, mari kuberitahukan padamu, terimalah semesta kemahatiba-tibaan-Nya sebagai bagaian dari hidupmu. Jika kau memiliki hidup yang membahagiakan, bersyukurlah dengan waspada, sebab di depanmu ketiba-tibaan lain bisa saja menunggu. Jika hidupmu tak cukup baik menurut pendapatmu sendiri, cobalah menerimanya dan teruslah berjalan dengan ketabahan. Tuhan selalu punya rencana lain, kemahatiba-tibaan lain, yang bisa jadi jauh lebih baik daripada kebahagiaan-kebahagiaan yang mampu kaubayangkan sekalipun. Terimalah pertunjukannya… kau memiliki peranmu sendiri, maka mainkanlah sebaik mungkin, biarkanlah Ia yang menilaimu sendiri.

“Bila kau tak kuat menjalaninya, bisikanlah ke dalam hatimu bahwa Ia tak akan memberimu peran yang kau sendiri tak sanggup menjalaninya. Laa yukallifullahu nafsan illa wusy’aha, begitu kata-Nya kira-kira. Jangan seperti aku, melawan-Nya dan tak menerima peran yang Ia berikan untukku. Maka, beginilah aku jadinya… Aku sudah mencoba melawan-Nya, Kawan. Dan beginilah akibatnya. Sendirian, terkucil, dimusuhi secara permanen. Kau tahu bagaimana rasanya? Aku tak mampu menjalaninya. Jika aku mencari teman, aku hanya mencari teman yang berpikiran pendek sepertiku…”

Slow it down, make it stop—
Or else my heart is going to pop
'Cause it's too much
Yeah, it's a lot
To be something I'm not

I'm a fool out of love
'Cause I just can't get enough

“Jika kau menghadapi masalah-masalah dan tekanan-tekanan berat yang kau pikir tak mampu kau hadapi dan kau jalani, berjalanlah melambat. Atau sesekali berhentilah. Ketergesa-gesaan hanya datang dariku dan ketenangan datang dari bisikan nuranimu. Jangan ikuti aku yang tergesa-gesa mengambil kesimpulan menganggap Tuhan begitu jahat menduakan cinta-Nya padaku. Jangan seperti aku yang tergesa-gesa meledak kepada-Nya dan berikrar melenyapkan-Nya dari hidupku. Jangan seperti aku, sebab aku juga tak bisa menjalaninya!

“Berpikirlah tenang, rasakanlah dengan hatimu, lihatlah semuanya dengan jelas… Jika tidak, lihatlah sendiri jika kau tak melakukannya… hatimu akan meledak—seperti aku! Dan kau akan kehilangan semuanya, tak memiliki apapun. Tuhan terlalu besar untuk kau tiadakan, bahkan bukankah Ia sendiri memenuhi seluruh ruang ketiadaan? Sementara itu, hidup terlalu kompleks untuk kau remehkan.

“Tak ada satupun yang bisa memenuhi harapan kita kecuali kita sendiri… Maka, saat kau merasa sedih atau bermasalah, jangan menuduh siapapun—jangan menuduhku. Kembalikanlah pada dirimu sendiri, kau adalah tuan bagi dirimu sendiri. Itulah cara Tuhan menghidupkan pertunjukannya, ia memberimu pilihan-pilihan, kemungkinan-kemungkinan, ketiba-tibaan, dan kau di tengah-tengahnya… fahadaynakum najdayn…

I'm just a little bit caught in the middle
Life is a maze and love is a riddle
I don't know where to go I can't do it alone I've tried
And I don't know why

I am just a little girl lost in the moment
I'm so scared but I don't show it
I can't figure it out
It's bringing me down I know
I've got to let it go
And just enjoy the show

The sun is hot
In the sky
Just like a giant spotlight
The people follow the signs
And synchronize in time
It's a joke
Nobody knows
They've got a ticket to that show… Yeah

“Saat menyadari kesalahanku dan melihat diriku yang penuh masalah dan dimusuhi banyak orang… kadang aku merasa takut, seperti gadis kecil yang tersesat di tengah hujan. Tetapi penyesalah memang selalu datang belakangan dan kita tak bisa mengulangi keputusan yang telah kita buat. Maka, segeralah bangun dan tersadar, berhentilah membuat keputusan-keputusan buruk dan keliru-keliru, berhentilah membuat keputusan-keputusan emosional-irasional, dan mulailah bekerja membaikkan kualitas diri. Itulah taubat. Lakukanlah selagi mungkin, sebelum semuanya terlambat. Sebab penyesalan selalu datang belakangan; hanya itu caranya menghentikan konsekuensi-konsekuensi buruk dari pilihan-pilihan buruk yang kau ambil. Sebelum semuanya terlambat seperti aku.

“Hidupmu tak ditentukan oleh keramaian, begitu kata Søren Kierkegard, salah satu sahabatku. Jangan membuat pilihan berdasarkan pilihan banyak orang, buatlah pilihan berdasarkan kata hatimu, berdasarkan akal-pikiranmu. Apa yang baik menurutmu, baik bagi hidupmu. Apa yang buruk menurut hati dan pikiranmu, buruk juga bagi hidupmu. Dan lihatlah bagaimana waktu akan membuktikan semuanya… Haha… ini termasuk nasihat untuk jangan mengikuti pendapat dan godaanku tentang sesuatu, timbanglah menurut hati dan pikiranmu sendiri…

I'm just a little bit caught in the middle
Life is a maze and love is a riddle
I dont know where to go, can't do it alone I've tried
And I don't know why

I am just a little girl lost in the moment
I'm so scared but I don't show it
I can't figure it out
It's bringing me down I know
I've got to let it go
And just enjoy the show oh oh oh

Just enjoy the show oh oh oh

“Jika kau sudah melakukan apa yang terbaik bagi hidupmu, jika kau sudah berusaha membaikkan dirimu di hadapan Tuhan, just enjoy the show! Hanya itu yang bisa kau lakukan. Wamaa tasyaa-u illa an-yasyaa-allah… Kenyataannya, di hapadan kehendak Tuhan, kehendak kita tak ada apa-apanya. Maka, nikmati saja pertunjukannya. Barangkali itulah yang disebut sebagai tawakkal. Merebahkan diri di tengah-tengah maha-sistem ketiba-tibaan dan kehendak Tuhan…

“Akhirnya, kita tak diberi kuasa untuk mengetahui apa yang bakal terjadi. Maka, jalani dan nikmati saja pertunjukannya. Jangan seperti aku, yang menyesal seumur hidup dan tak bisa melakukan apa-apa lagi. Kalau boleh dan mungkin, asal kau tahu, sesungguhnya aku ingin mengulangi semua “pertunjukan” ini dari awal. Tetapi tak mungkin. Paling tidak, aku ingin uangku kembali dan memilih duduk manis di depan maha-layar pertunjukkan Tuhan, tetapi tak mungkin… Maka, di tengah ketidakmungkinan itulah aku memilih peranku sendiri sebagai “yang jahat”, “yang hitam”, “yang dimusuhi”, “yang dibenci”, untuk menyempurnakan peranmu sebagai “yang baik”, “yang suci”, “yang disayangi Tuhan”… Dalam kondisi itu, bila dengan pengorbananku saja kau tak bisa belajar dari buruknya masa laluku, betapa bodohnya kamu. Bila kau tak bisa menjadi “sisi baik” dari kepasrahanku menjadi “sisi buruk”, betapa sia-sianya hidupmu… dan betapa sia-sianya pengorbananku…

dum de dum
dudum de dum

Just enjoy the show

dum de dum
dudum de dum

Just enjoy the show

I want my money back
I want my money back
I want my money back

Just enjoy the show

“Terkutuklah kau jika tak menghargai pengorbananku! Cintailah kecintaanku, sebab aku hanya bisa mencintai-Nya dari jauh. Bila sempat, dalam doamu, bisikanlah kepada-Nya bahwa betapa aku masih mencintai-Nya!”

Tuan Setan mengakhiri curhatnya, permainan pianonya mulai melambat, dan suaranya mulai berat. Aku segera tahu bahwa matanya mulai berkaca-kaca. “Bukankah sia-sia hidupmu jika kau tak mencintai Tuhanmu?” katanya, “Betapa ingin aku melakukannya, kau tidak?”

Aku tersentak. Ada debar hebat yang muncul dari dalam dadaku, seperti biasa setiap kali melakukan perbincangan dengannya. Aku terdiam cukup lama saat Tuan Setan terlihat akan pergi. Ia berjalan menjauh dengan langkah terhuyung, meninggalkan aku yang terpaku dalam kebodohan diriku sendiri.

Ia menoleh ke arahku, tersenyum, “Just enjoy the show!” katanya, lalu menghilang.

Aku tak ingin bangun dari tidurku, tetapi tak bisa. Kenyatan begitu kuat menarik diriku kedalam tempat tidurku. Lalu waktu menjadi rapuh dan berantakan, membukakan mataku, menghadirkan kegelisahan baru di hatiku. “Mengapa aku harus berteman dengannya?” kataku dalam hati. “Siapakah Tuan Setan sebenarnya?”

Lamat-lamat, lagu Lenka, The Show, mengalun dari ruang kerja istriku… I'm just a little bit caught in the middle / Life is a maze and love is a riddle / I dont know where to go I can't do it alone I've tried / And I don't know why/ I am just a little girl lost in the moment / I'm so scared but I don't show it / I can't figure it out / It's bringing me down I know / I've got to let it go/ And just enjoy the show, oh oh oh…

…just enjoy the show!



Suatu hari, lama setelah menonton film indie Cin(T)a, membaca novel Eat Pray Love, melakukan yoga, bicara dengan Tuhan dan shalat, membaca buku Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai dan Sejarah dalam 10 1/2 Bab, dan bertanya-tanya kenapa Tuhan ngotot menyuruh Ibrahim untuk menyembelih Ismail... tiba-tiba terlintas begini: Kayaknya Tuhan, nggak meminta untuk disembah dengan satu cara.


Saya ingat salah satu line dari film Cin(T)a: "Kenapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, kalau Dia ingin disembah dengan satu cara?" Mungkin nggak sih, kalau Tuhan sebetulnya nggak meminta itu?

Mungkin manusia punya caranya masing-masing dalam menyembah Tuhan. Ada yang nyaman dengan shalat, ada yang nyaman dengan maditasi... Dan mungkin cara-cara itu cuma tool untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Rasanya hubungan dengan Tuhan adalah hubungan yang sangat pribadi. Cuma dia dan Tuhannya yang mengerti persis hubungan itu. Dan siapa sih orang lain untuk menilai apakah caranya menyembah Tuhan benar atau salah. Kayaknya yang punya hak untuk menilai itu, ya cuma Tuhan.

Dor.

Yasudah lah, lakukan aja menurut keyakinan masing-masing.

Between Opera and Pie

In any other day, Harvest Cafe should be closing soon. Yet it was Friday night, so the store wouldn't be closed for another two hours.


We sat outside, on the balcony where we could see cars and motorcycles passing along Jalan Djuanda. Michael Buble was playing on the stereo and a waiter with his brown apron took our orders.

I ordered opera cake and she took mushroom pie. Two good friends, talking and ranting and mocking. About jobs, schools, boys, girls, friends, brother... Subjects we could not be tired of. Wait, we should not be tired of.

Laughed at our selves. Laughed at other's naivety. Laughed at prides and broken expectations.

I love challenge and she demands attention. I cross every line just to know how it feels. And she longs for passion, primal as it seems.

We broke others' hearts and got our hearts broken. We cried yesterday and laughed it off on the next day. When we are young and invincible, it feels like we could live forever. So why not enjoy it, before youth runs out like the last bite of opera cake.

about me

Foto saya
Contact me: devy.nandya@gmail.com