love in trial

Barusan saya nonton berita di TV (setelah bolak-balik pindah channel dan memutuskan tidak jadi nonton Upin dan Ipin). TVOne sedang menampilkan berita kerusuhan di Bangkok. Saya jadi ingat kerusuhan di Jakarta lebih dari sepuluh tahun lalu dan mengira-ngira mana yang lebih buruk, chaos di Indonesia atau di Thailand. Bukannya itu sesuatu yang penting juga sih.


Waktu reformasi '98 saya masih SD. Untungnya keluarga orangtua saya tinggal di Bogor, hitungannya relatif aman lah. Pembakaran dan penjarahan seingat saya tidak sampai ke Bogor. Namun berita-berita di TV saat itu cukup meneror orang-orang dewasa, sehingga begitu ada kabar akan ada demonstrasi, sekolah-sekolah pasti diliburkan.

Sebagai anak kecil rasanya saya juga tidak begitu terganggu dengan keadaan saat itu. Saya juga tidak mengerti kenapa waktu itu mahasiswa berbondong-bondong ke Senayan dan menduduki DPR/MPR. Saya cuma tahu saat itu kalau Soeharto itu sudah terlalu lama jadi presiden, jadi harus lengser. Saya juga ingat sedikit-sedikit berita tentang kematian mahasiswa saat demo, penjarahan, gedung-gedung dibakar... Baru akhir-akhir ini saya mendengar tentang peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan etnis Tionghoa di Indonesia.

Yah, balik lagi ke kerusuhan Thailand, waktu saya melihat beritanya, saya agak bertanya-tanya mungkin tidak ya, kejadian yang sama terjadi lagi di Indonesia. Saya pikir tidak sih. Indonesia, dari pengamatan saya yang tidak bisa dibilang mengamati dengan seksama juga, sudah jauh lebih berkembang di tahun-tahun belakangan ini. Jadi saya cukup yakin clash antar rakyat ini tidak akan terjadi di Indonesia. Eh, tapi kemudian setelah berita tentang Thailand muncul berita selanjutnya yaitu 'warga menyerang supporter Persija', terjadinya di Cikampek. Haduh.

Saya masih yakin sih kalau chaos yang sangat parah tidak akan terjadi lagi, setidaknya tidak dalam waktu dekat-dekat ini. Saya merasa Indonesia sekarang semakin bersatu. Mungkin ini efek Thomas Cup yang jadi trending topic di Twitter. Ah, saya jadi mikir mungkin kemudahan komunikasi saat ini (twitter, blog, facebook) juga ikut membangun kebersamaan yang lebih luas. Maksud saya, dengan Twitter saja orang-orang kan jadi ngeh kalau banyak orang yang mendukung Indonesia, dan itu membuat kita merasa memiliki koneksi satu sama lain sebagai warga negara. Yah, itu satu teori.

Eniwei, saya ingat waktu melihat berita tentang Thailand beberapa minggu yang lalu bersama sepupu saya. Waktu itu diperlihatkan massa yang menyerang polisi. Dia bilang, "Ini berarti negara mengadu rakyatnya sendiri. Polisi kan rakyat juga."

Sedih ya. Negara tidak mampu melindungi rakyatnya sendiri, di negeri sendiri.

Alasan dari kerusuhan dan clash kan biasanya perbedaan. Perbedaan pandangan, perbedaan cara, perbedaan ini dan itu. Pemerintah yang berkuasa di Thailand maunya ini, kaus merah maunya itu. Kalau di Indonesia sekarang mungkin adalah perbedaan ideologi. Lebih gawat sih, karena itu kan yang jadi dasar pembentukan satu negara. Mereka yang diklaim sebagai teroris mau mengubah Pancasila menjadi hukum, yang katanya, Islam. Untungnya di Indonesia masih banyak yang percaya Pancasila, masih banyak yang menghargai perbedaan, dan masih banyak yang ingin hidup tenang.

Mungkin untuk menuju sesuatu yang besar kita memang harus melewati pahit-pahitnya dulu. Kan katanya kalau kita berhasil melewati yang buruk-buruk bersama ikatannya jadi lebih kuat. Amerika Serikat pernah melewati Civil War antara utara dan selatan, warga Jerman keturunan Yahudi pernah mengalami pembantaian NAZI, revolusi Perancis memenggal rajanya, ratunya, dan bahkan pemimpin revolusinya, Jepang dan restorasi Meiji, dan seterusnya... Bahkan Korea. Walaupun yang ini 'berantem'-nya berakhir dengan 'putus'-nya Korea Utara dan Korea Selatan.

Jadi mungkin segala sesuatunya terjadi untuk membuat kita jadi lebih baik. Kalau bukan untuk hari ini, ya besok. Atau minggu depan. Atau bulan depan. Atau tahun depan. Atau... yah, kapan pun itu saat kita berhasil mengerti pelajarannya.

about me

Foto saya
Contact me: devy.nandya@gmail.com